Foo Fighters dan Kabur Tipis-tipis

Piringan hitam album perdana Foo Fighters.
[Sisi satu piringan hitam album self-titled Foo Fighters ini berisi hits “This is a Call”, “I’ll Stick Around”, dan “Big Me” berturut-turut.]

Tanggal 4 Juli yang selama ini aku ingat adalah tentang kemerdekaan AS, film Oliver Stone Born on The Fourth of July, lagu “4th of July” di album Superunknown milik Soundgarden, dan hari lahir teman SMA-ku Julius Royan. Aku melewatkan satu hal: kelahiran album perdana self-titled Foo Fighters di tahun 1995.

Aku tidak peduli dengan peringatan hari kemerdekaan AS, yang pada tahun ini lagi brengsek-brengseknya, persis seperti adegan di film besutan Oliver Stone itu. Aku pun lupa mengucapkan selamat ulang tahun buat Julius Royan, padahal gampang saja disampaikan lewat grup obrolan alumni sekolah. Aku malah mengunggah lagu “4th of July” yang dimainkan ulang Thou, band kelam yang kutemukan belakangan hari.

Di lini masa, ramai akun kolektor piringan hitam menggunggah foto album Foo Fighters bergambar pistol-pistolan itu. Beberapa dari mereka mengimbuhinya dengan cuplikan kenangan mereka pada album itu. Aku berusaha keras mengingat memoriku, setidaknya demi kepentingan konten.

Rupanya susah sekali. Aku tak ingat kapan pertama kali aku membeli kaset yang selongsongnya transparan tapi kasar itu. Yang pasti, aku membelinya ketika aku masih SMP di Kota Sukoharjo, kota kecil sekitar 14 kilometer ke arah selatan Kota Solo di Jawa Tengah. Orangtuaku “menitipkan” aku di keluarga Pak Dhe di sana, dari tahun 1994 sampai 1996, selama jenjang SMP-lah.

Sukoharjo beriklim panas, setidaknya itu yang kurasakan di wilayah perkotaannya. Waktu itu, tempat hiburan satu-satunya di sana adalah bioskop, bukan jaringan XXI. Aku nggak berani nonton di situ; katanya kursinya berkutu, dan banyak preman. Bioskop bagus yang terdekat dari tempat tinggal Pak Dhe ada di daerah Solo Baru, sekali naik bus dari terminal kota. Ke sanalah aku sering menghabiskan jatah jajan bulanan kiriman Bapak.

Toko kaset ada di dekat terminal itu, yang sebetulnya ada di dalam area terminal. Tapi koleksinya kebanyakan album dalam negeri, bajakan pula. Dangdut dan campursari mendominasi. Sepertinya, pembeli terbanyaknya adalah para supir angkot di sana.

Teman sekolahku nyaris tak ada yang pernah jajan rock di sana. Well, istilah “jajan rock” belum dirumuskan Bin Harlan. Dan teman-teman sekolahku nggak terlalu peduli dengan album musik. Mereka, termasuk aku juga, lebih banyak mendengar radio, menelan apa saja yang disuapi para pengarah musik.

Tapi asupan dari radio tidak selalu memuaskanku. Betapa tidak, beragam liputan konser dan ulasan album dari majalah Hai, jarang kudengar wujud lagunya di radio itu. Aku penasaran seperti apa album Mellon Collie and the Infinite Sadness Smashing Pumpkins, atau The Downward Spiral Nine Inch Nails. Sehingga, kaset jadi kebutuhan mendesak juga bagiku, seenggaknya untuk menemani keseharianku yang lebih banyak di dalam kamar. Aku adalah music snob tingkat kota kabupaten.

Di rumah Pak Dhe, kamarku adalah suaka. Kebetulan aku dapat kamar sendiri yang letaknya di pojok belakang rumah. Rumah itu tak pernah sepi. Pak Dhe dan Bu Dhe adalah pengusaha konveksi batik. Bisa jadi salah satu alasan orangtuaku menitipkan di sini adalah agar aku terbiasa dengan etos kehidupan pengusaha. Tujuan itu tak tercapai.

Selain keluarga inti—yang cuma lima orang itu—ada belasan pekerja yang tinggal di sana, semuanya perempuan lajang berentang usia belasan sampai awal dua puluhan. Selain mengurusi pekerjaan konveksi, mbak-mbak ini juga mengerjakan hal-hal domestik. Selain mereka, puluhan penjahit, tukang potong, tukang bikin pola, bekerja di sana saban pagi sampai sore. Belum lagi tukang-tukang lainnya yang menyetor hasil kerjaan dari rumah masing-masing. Suasananya memang selalu riuh. Tapi kamar di pojok belakang itu mengisolasi.

Karena lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, aku sebisa mungkin mencukupi asupan rohani. Ada Alkitab di laci meja, sih. Tapi itu kurang menarik diceritakan.

Seorang paman menghadiahi tape compo kecil bersuara cempreng dari speaker stereo yang bisa dijauhkan. Bagian tape-nya bisa dilepas, seolah-olah jadi pemutar kaset portable—persetan dengan Sony Walkman. Kalau sudah dilepas begitu, aku bisa menyambungkan earphone, sehingga suaranya terdengar lebih bagus—atau kuanggap demikian.

Kaset ibarat lauk-pauk yang bisa kupilih sendiri; beda dengan lagu yang diputarkan radio. Majalah jadi panduan membeli album musik. Majalah yang kuanggap punya ulasan bagus soal musik saat itu adalah Hai. Aku tidak berlangganan, tapi nyaris setiap pekan aku membelinya. Kalau sampul depannya bukan musisi atau band, aku biasanya urung beli, apalagi kalau memajang foto model cowok.

Bel bubaran sekolah di SMP Negeri 2 Sukoharjo itu kurasa lebih merdu setiap Senin, hari ketika Hai edisi terbaru terbit. Pada awal pekan itu, aku memilih berlama-lama berkemas, menunda mengambil sepeda di parkiran, supaya Si Gendut Nugroho dan Si Jangkung Cahyo Catur, bisa jalan pulang duluan. Aku lebih suka menggowes sendiri menuju kios majalah, yang berbeda arah dengan tempat tinggalku, juga berlawanan dengan tujuan Nugroho dan Cahyo.

Kios majalah itu kecil, terletak di tepi jalan besar. Aku harus melewati simpang lima atau proliman, persimpangan terbesar di kota itu yang berlampu merah. Dari proliman, aku berbelok ke kanan, seperti hendak menuju ke sentra jamu Nguter, atau kalau bablas terus bisa sampai Wonogiri. Tapi perjalananku tak sejauh itu. Dari persimpangan, paling-paling aku tinggal mengayuh satu kilometer lagi untuk sampai di kios majalah.

Terkadang di rute inilah aku bersisian dengan Si Ketua Kelas Eko Yuliadi, Si Striker Eko “Komprot”, atau Si Kekar Koesdibyo Tjahjono—anak muda bernama ejaan lama. Aku melambatkan kayuhan, sehingga mereka kesal dan meninggalkanku sendirian. Aku berhenti di kios yang teduh itu. Biasanya, Mas Pedagang menyisakan satu eksemplar buatku yang dipisahkan dari rak pajang.

[Sampul album self-titled Foo Fighters berformat piringan hitam, edisi 2011.]

Uang jajanku pun berkurang, berganti dengan edisi baru majalah, yang segera kumasukkan ke tas tukang pos, yang kutebus dari Si Keling Depi yang tinggal di samping stasiun. Perjalanan pulang dari kios rasanya mendebarkan. Berlebihan kalau kubilang karena tak sabar membuka halaman majalah baru. Lebih sering karena melewati rumah Si Gebetan Ika Retno Palupi, anak SMP sebelah yang kukenal di tempat les. Perasaan makin tak keruan kalau melihat sepedanya sudah terpakir di teras rumahnya. Tapi aku bablas sajalah, mending moco majalah.

Salah satu edisi Hai yang kuingat memuat lirik dan kunci gitar lagu “This is a Call” dari Foo Fighters. Aku lupa edisi itu memajang apa di sampulnya. Itu adalah lagu yang kunanti-nanti, karena penasaran dengan band “penerus” Nirvana. Karena ada kunci gitarnya, kuanggap lagunya nggak kencang-kencang amat, dan bisa diikuti dengan mudah. Tapi bagaimana mau main gitarnya kalau tidak tahu lagunya seperti apa.

Kalau tidak salah ingat, di edisi itu juga, tembang tersebut masuk dalam jajaran tangga lagu Hairock, lagu-lagu rock yang sedang populer pilihan awak redaksi Hai. Tangga lagu Hairock dijadikan program radio yang disiarkan di beberapa radio Nusantara. Stasiun radio di Solo kebagian. Maka pada jadwal yang ditentukan, aku memantengi program itu.

Ternyata lagunya enak, nggak sekencang “Serve the Servant”, dan nggak serumit “Radio Friendly Unit Shifter” dari album In Utero milik Nirvana, yang rilis dua tahun sebelumnya. Bisalah digenjreng pakai gitar akustik yang kubeli dari Si Bengal Tempir seharga Rp 20.000—mungkin dia butuh uang untuk beli Leksotan.

Tapi untuk dengar lagu itu kembali, aku harus menunggu satu minggu lagi di program yang sama. Nyaris mustahil mengharap lagu rock alternatif, apalagi yang masih baru, diputar di program reguler radio di situ. Radio kebanyakan memutar lagu pop dalam negeri, atau ada juga yang ekstrim sekalian berisi lagu-lagu metal. Lagu Pantera, Sepultura, dan Slayer pertama kali kudengar lewat program Raburock di SAS FM. Sia-sia menanti Foo Fighters mengudara di radio, apalagi Pixies, ataupun The Breeders yang sebenarnya sudah lebih populer.

Maka membeli kasetnya adalah opsi yang paling memungkinkan. Itu artinya, aku harus ke Kota Solo sesegera mungkin setelah pulang sekolah, supaya sore sudah sampai lagi di rumah, agar tidak ketahuan Pak Dhe. Aku malas ditanya-tanya habis dari mana. Apalagi, tujuannya “cuma” membeli kaset, kebutuhan konsumtif, jauh dari etos kerja keras dan berhemat gaya wirausaha.

Untuk “pelarian” begini, biasanya aku bermodus minta izin main ke rumahnya Koesdibyo Tjahjono, yang juara kelas itu. Aku pakai sepeda dari rumah, supaya makin meyakinkan tidak pergi jauh-jauh. Sepedanya aku titipkan di sebelah toko kaset bajakan di terminal. Lalu aku naik bus PO Damar Sasongko ke Solo.

Toko kaset tujuanku ada di dekat plaza yang ada toko Matahari dan bioskop Studio 21. Aku tak ingat nama tokonya, maupun nama jalannya. Plaza itu dijarah massa tahun 1998. Ketika album Foo Fighters keluar, harga kaset barat sekitar Rp 12.500; koreksi kalau salah. Sekali jajan, biasanya lebih dari satu album, supaya kaburnya tidak terlalu sia-sia. Lagi-lagi, aku tak ingat beli kaset apa untuk menemani Foo Fighters waktu itu. Mungkin Cracked Rear View dari Hootie and the Blowfish.

Maka koleksi kasetku pun bertambah. Aku jadi makin akrab dengan “This is a Call”, dan bisa memainkannya di gitar murahan itu walau suaranya kasar alias raw, seperti nuansa lagu-lagu di album pertama Foo Fighters itu. Lagu di urutan kedua “I’ll Stick Around” lebih atraktif, sayangnya sukar digitarkan. Lagu ketiga “Big Me” adalah yang paling gampang dimainkan, bahkan bisa diisengi merangkainya dengan lagu “Kamulah Satu-satunya” Dewa 19 yang dirilis dua tahun kemudian.

Foo Fighters mulai bertumbuh di seluruh dunia, termasuk di kamar pengap di Sukoharjo itu. Bertahun-tahun berikutnya mereka makin populer, dan berumur lebih panjang dibandingkan Nirvana.

Foo Fighters pula yang kelak “memaksaku” membuat paspor untuk pertama kalinya karena berencana berkonser di Singapura pada 2012. Konsernya batal akibat Dave Grohl sakit pita suara. Tapi aku jadi ke Singapura bareng Si Tengil Maria, Si Anteng Luhur, dan tiga teman baru lain. Itu lawatan luar negeri pertama kalinya bagiku, dan bukan karena kewajiban pekerjaan.

Aku baru benar-benar menonton konser mereka lima tahun kemudian di negara itu bareng Si Cekatan Diaslily. Rasanya mengharukan meneriakkan “I don’t owe you anything” berulang-ulang pada lagu pembuka “I’ll Stick Around” di National Stadium itu. Foo Fighters sejak dulu selalu berhasil memaksaku pergi jauh, alias kabur tipis-tipis.(*)

Kiprah album self-titled Foo Fighters ini bisa disimak di sini.